Huft ..., ya mau bagaimana lagi, sepertinya lelaki yang ada di depanku kini tak lagi sama seperti dulu. Percuma saja aku merajuk dengan cara apapun, selalu saja gagal. Tak pernah dianggap, malah terkadang aku yang disalahkan. Kekanakan, katamu.
Padahal aku ini sekarang kan sudah menjadi istrimu. Aku hanya butuh diperhatikan saja. Didengarkan saja keluhanku selama seharian di rumah, sudah cukup. Tak perlu memanjakanku dengan intan berlian, cukup kau sediakan saja bahu dan telinga untukku. Apakah itu sulit? Entahlah.
Apakah kau ingat sepuluh tahun lalu ketika kau berusaha keras untuk mendapatkan hatiku? Hei, seribu macam cara kau lakukan demi aku. Ingatkah?
Kau rela menjemput aku pulang kantor, meski kau juga lelah setelah bekerja. Tak peduli dengan padatnya jalanan ibu kota kau tetap dengan senang hati menjemputku. Menemuiku untuk menunjukkan bahwa kau perhatian denganku.
Selama di perjalanan kita sibuk mengobrol dengan ceria sambil menonton tayangan OVJ yang menggelitik. Lalu kita berdua tertawa bersama diantara padatnya kendaraan di jalanan.
Meski sudah malam karena perjalanan yang macet itu memakan banyak waktu, namun kau masih sempat mengajakku makan. Lalu kita makan bersama, kadang di tenda pinggir jalan, sering juga di restoran mahal. Itu juga kau lakukan demi aku.
Sambil mengobrol santai, kita berdua menunggu pesanan. Hingga tak terasa berjam-jam kita berdua betah di tempat makan hanya karena keasikan membahas hal-hal yang tak penting. Bercanda seperti anak-anak, bercerita, dan tertawa bersama.
Rasanya takkan cukup waktu untuk menghabiskan waktu bersama, hingga ketika kita berpisah pun, kau masih meneleponku sebelum tidur. Tidak ada kekakuan apalagi rasa bosan. Semuanya mengalir begitu saja dan selalu terasa mengasyikkan.
Beberapa hari tak bertemu karena masing-masing kita sibuk, rasanya tak kuat. Rasa rindu kala itu seperti ingin membunuh saja, membuat sakit dada.
Ah, berapa manisnya semua kenangan kita bersama. Yang dulu kuyakin bisa semakin mewarnai hari-hari kita setelah bersama dalam satu atap.
Namun ternyata aku salah. Betapa kenyataan tak sesuai dengan harapan. Entah mengapa kini kau berubah.
Tahun demi tahun pernikahan berjalan, keadaan semakin berbeda. Seperti saat ini, aku harus menelan pahit kenyataan, bahwa kau seringkali acuh padaku.
Seharusnya kau mengerti betapa aku hanya seorang perempuan yang ingin ditemani saat malam, didengarkan keluh kesahku. Itu saja sudah membuat aku lega.
Aku tak mengerti mengapa kau begini, aku merajuk pun kau malah tega memarahiku. Atau yang paling pelan tapi 'dalam', seperti: "Aku capek, mau tidur." Aduh, rasanya aku seperti tak bersuami.
Bosan dengan pertengkaran, kini aku memilih diam saja. Menerima takdir kesendirianku. Tak mengapa sesungguhnya dalam hati aku tak bahagia, asalkan anak-anak bahagia. Tak lagi terluka hati mereka karena melihat kami berseteru. Sudah cukup.
Karena bagiku, kebahagiaan mereka lebih penting daripada kebahagiaan diriku sendiri.
#Fiksi
#TantanganMenulis
#RamadhanBercerita
Share This Article :
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup pada kolom komentar, kalau masih nekat mohon maaf komentarmu akan dihapus ya🙏