Bulan Ramadhan sedang membersamai saya dan keluarga, juga semua saudara Muslim di seluruh penjuru dunia. Namun kali ini ada sebuah kisah yang menurut saya cukup menggelitik.
Sebelum Ramadhan, anak sulung saya yang bernama Abdi meminta dibelikan sendal jepit. Awalnya saya menolak membelikan dengan halus. Pasalnya, sudah tiga buah sendal jepit dia hilangkan di masjid sekolahnya.
Jadi Abdi ini bersekolah di sekolah Islam, _full day school_ begitulah istilahnya. Masuk pukul 06.50, dan pulang selepas Ashar. Itu pun ada praktek taushiyah dulu di aula. Sholat Dhuha, Dzuhur dan Ashar dilakukan di masjid sekolah. Para murid biasa memakai sendal jepit dari kelas menuju masjid.
Nah, perkara sendal jepit bermula di sini. Berkali-kali sendal jepit Ardi hilang di masjid. Belum tentu murid yang sengaja mengambil atau menukarnya. Karena jama'ah masjid Al-Bahr (nama masjid di sekolahnya) adalah umum. Baik murid, para guru, staf, bahkan warga sekitar sekolah boleh mengikuti sholat berjama'ah di sana. Kalau segitu banyak orang berkumpul, tentu sulit untuk menebak-nebak siapa yang 'usil'. Namun saya bilang kepada Ardi, bisa saja hanya tertukar. Lain kali dikasih nama atau tanda saja di sendal. Meski Ardi sudah memberi kode A, bahkan sendal ketiga ia gunting pinggirannya seperti bergerigi, namun tetap saja hilang 🙈
Apa mau dikata, ini kan namanya musibah. Masih untung hanya sendal jepit merek Swallow yang hilang tiga kali. Saya berpesan padanya, "Ikhlasin aja ya, semoga sendal jepitmu yang hilang bisa lebih bermanfaat oleh penggunanya yang sekarang."
"Iya, Bun. Amin deh, tapi aku tetep kesel aja," jawab Abdi.
"Ehh, kalau masih ada rasa kesal, kecewa, meski itu sedikit, namanya kamu belum ikhlas, Nak. Coba diikhlaskan ya, Insya Allah ada rejeki nanti Bunda belikan lagi," saya mencoba menenangkannya. Meski saya merasa wajar ia kesal, karena ketiga sendal jepit Swallow yang hilang itu, ia beli dari hasil uang tabungannya. Abdi menyisihkan rupiah demi rupiah dari uang sakunya setiap hari. Alhamdulillah, anak saya terbiasa melakukan itu.
Singkat kata, saya memiliki sedikit lebihan uang belanja dua pekan lalu, kemudian saya belikan sendal jepit seperti janji tempo hari. Merek bagus, beli di sebuah mal ketika saya kemarin ada arisan bersama teman-teman komunitas hijabers Bekasi.
"Aduh Bun, ngapain sih kamu beliin sendal sebagus itu? Ntar juga ujung-ujungnya ilang," kata suami ketika menjemput saya arisan. Beliau menanyakan perihal bungkusan yang saya bawa.
Saya hanya tersenyum membalas ucapan suami. Tak berani menjawab, takut memancing keributan. Maklum, beliau baru saja pulang bekerja pasti capek sekali. Ditambah stress menyusuri jalanan Jakarta-Bekasi yang tak pernah sepi setiap jam pulang kantor. Saya cari aman saja, hehehe.
Sesampai di rumah, Abdi melonjak kegirangan demi melihat apa yang saya bawa. Belum sampai Andi mengambil dari saya apalagi mengucap terima kasih, eh ayahnya sudah mendahului.
Suami saya mengambil plastik berisi kotak sandal yang saya bawa dengan sedikit kasar, lalu melemparnya ke sofa tempat Abdi duduk tadi.
"Tuh. Pake yang bener, jangan diilangin lagi, mahal!, ujar beliau.
"Ehhh, iya baik Ayah,' jawab Abdi, ia kaget sekali.
Saya mengelus dada melihat kejadian itu. Sepertinya kejadian tahun lalu masih sangat membekas di benak beliau.
Lebaran kemarin, suami saya membelikan sendal jepit idaman Abdi. Dengan senang hati beliau mengumpulkan uang demi membeli sendal merek luar negeri tersebut untuk hadiah tadarusan Abdi, sekaligus untuk dipakai berlebaran.
Namun yang namanya musibah, tak ada yang dapat menduga. Baru sehari dipakai, sendal jepit merek Adidas itu raib ketika Abdi taruh di teras rumah Neneknya di kampung saat kami bersilaturrahim kesana tahun lalu.
Ayahnya murka. Tidak sedikit uang yang digunakan untuk membelinya. Beliau hanya pegawai biasa di kantornya, dengan gaji standar UMR. Tentu sendal jepit yang dibeli di Sport Station merupakan barang yang mewah baginya. Itu alasan beliau murka kepada Abdi.
Sudah dicari ke sana kemari kala itu, namun hasilnya nihil. Jadilah Abdi murung sepanjang libur Lebaran.
Kembali kepada kisah keluarga saya di masa kini.
Sebelum Ramadhan kemarin Abdi meminta sendal jepit kepada saya karena uang tabungannya habis untuk keperluan tugas sekolah.
Saya belum bisa mengabulkan, karena keperluan belanja menjelang puasa banyak sekali sehingga tak ada kelebihan uang belanja selain untuk tabungan rutin untuk hal tak terduga. Uang di pos tersebut tak berani saya utak-atik. Saya anjurkan Abdi untuk meminta baik-baik kepada ayahnya.
Alhamdulillah, setelah menjelaskan bahwa Abdi hanya memiliki dua pasang sepatu: satu pasang sepatu hitam untuk sekolah, dan sepasang lainnya berwarna biru untuk pergi. Sementara, _qoddarullah_, sendal jepit merek Three Second yang bulan lalu saya belikan, juga hilang. Sementara Abdi sangat membutuhkan sendal jepit untuk pergi ke masjid untuk sholat jama'ah dan tarawih.
Atas semua penjelasannya tersebut, Ayahnya mengabulkan. Beliau sempat katakan pada saya semalam, bosnya di kantor memberikan sedikit hadiah berupa uang tunai kepada karyawan teladan yang tidak pernah telat dan absen. Beliau salah satunya. Alhamdulillah, Masya Allah.
Atas nikmat tersebut, suami saya langsung mengabulkan permintaan Abdi. Untuk ibadah Ramadhan, sekaligus dipakai Lebaran. Tak lupa beliau mewanti-wanti agar sendal jepit kali ini tidak hilang lagi seperti biasanya.
Pekan pertama Ramadhan, sendal jepit merek Bata tersebut aman. Selalu ikut pulang bersama Abdi sang pemiliknya.
Pekan kedua dan ketiga juga aman, Alhamdulillah. Sepertinya para jama'ah masjid memiliki iman yang luar biasa sehingga tak ada satupun yang 'usil'.
Petaka muncul tiga hari sebelum takbiran. Abdi yang ingin berangkat sholat Dzuhur berjama'ah di masjid, tak dapat menemukan sendal jepitnya.
Ia mencari di rak sepatu depan, bahkan hingga kamar dan dapur. Semua hasilnya nihil.
Saya sedih sekali melihatnya yang sedang duduk termenung di kursi teras, wajahnya pucat pasi.
Saya membayangkan wajah ayahnya yang murka dan kemungkinan Abdi berlebaran dengan sepatu pergi yang lama. Aduh, kasihan sekali.
Lalu tak lama, "Meoooooong," si Kumi kucing peliharaan kami, datang memasuki pagar menuju teras dengan membawa sendal jepit Bata milik Andi. Kumi menggigitnya, namun hanya satu buah, yaitu sendal sebelah kanan. Wah, saya dan Andi senang sekali melihat kedatangan Kumi.
Namun, satu lagi yang sebelah kiri kemana ya? Andi menunduk menatap wajah Kumi, mereka kemudian bercakap-cakap sebentar. Entah dengan bahasa apa mereka bicara, saya tak dapat mendengarnya.
Lalu Kumi berlari keluar pagar dengan diikuti Abdi. Saya yang penasaran, mengikuti dari belakang.
Masih belum paham apa maksudnya Mengajak kami ke rumah Pak Roy, sang ketua RT. Takut-takut kami di depan pagarnya. Namun Kumi sudah berhasil melompat pagar dan masuk ke dalam perkarangan.
Hey, lihat apa yang dilakukan Kumi! Ia berjalan dengan percaya diri ke arah taman, memasuki pepohonan bunga di sana. Lalu keluar dengan menggigit sesuatu.
Ketika sudah lebih dekat, saya dan Andi dapat melihat dengan jelas apa yang ia gigit itu. Aha! Sendal jepitnya Abdi!
Saya dan Abdi bertatapan. Lalu saling melemparkan senyum dan sama-sama mengucap syukur, "Alhamdulillaaah."
Bu RT keluar dari rumahnya sambil menggendong balitanya yang berusia 4 tahun. Anak itu menangis, sepertinya habis dimarahi.
Beliau meminta maaf kepada kami karena anaknya tadi pagi iseng. Ketika ingin mengajak Rafa, anak kedua saya yang sepantaran dengan balita tersebut, ternyata Rafa sudah dipanggil tidak keluar-keluar. Lalu balita tersebut tertarik dengan sendal jepit Abdi yang bergambar Avenger, dan dibawanya ke rumah.
Ibunya tak mengerti sendal siapa yang dibawa anaknya pulang, hanya bisa memarahi saja. Kasihan sekali saya mendengar cerita beliau.
Saya minta kepada beliau untuk menghentikan amarahnya kepada sang balita, dan menegaskan kalau masalah ini sudah selesai. Anaknya tak salah, toh hanya seorang balita yang mungkin belum mengerti soal kepemilikan.
Saya, Abdi dan Kumi segera kembali pulang. Sambil mengobrol santai, saya juga menegur Abdi atas keteledorannya tidak menutup pagar sepulang i'tikaf. Selain itu, agar lebih bisa menyimpan barang-barang miliknya. Setelah digunakan, simpan kembali ke rak sepatu yang ada di dalam rumah, agar tidak hilang.
"Untung ada Kumi...," Kami berdua tertawa bersama, diikuti lenguhan manja si Kumi.
"Ada apaan sih pada berisik aja," kata Ayah yang tiba-tiba muncul.
"Hehehe nggak ada apa-apa kok Yah...," jawab Abdi sambil melirik saya.
Saya pun tersenyum kepada mereka berdua sambil berucap syukur. Alhamdulillah, semua masalah pagi ini selesai. Kalau tidak, bakal terjadi perang lagi nih hanya karena perkara sepele: sendal jepit! 😆
#fiksi
#tantanganmenulis
#RamadhanBercerita
Share This Article :
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup pada kolom komentar, kalau masih nekat mohon maaf komentarmu akan dihapus ya🙏