Suara burung gagak di atas genteng menemani nyanyian kodok di belakang rumah. Ramai sekali, membuat Sinta terbangun dari tidurnya. Ia keluar dari kamar dan melihat jam dinding di ruang tengah. Waktu menunjukkan pukul 1 dini hari, namun suami tercinta belum tampak.
Ia duduk di kursi dengan gelisah. Perasaan di hatinya tidak karuan. Antara sedih, cemas, dan khawatir. Biasanya pukul sebelas Andi sudah pulang dari pangkalan. Iya, pekerjaan suaminya adalah sebagai tukang ojek di Pangkalan Cepek. Nama pertigaan jalan yang letaknya sekitar 1 km dari rumahnya. Di sana ada pangkalan ojek yang terdiri dari sekitar 7 orang tukang ojek, termasuk suaminya.
Cerita tentang keributan antar tukang ojek pangkalan dengan supir taksi online sering didengar oleh Sinta, apalagi kejahatan begal. Semua itu membuatnya khawatir akan suaminya. Hanya do'a yang mampu ia panjatkan kepada Allah Yang Maha Menjaga.
Dalam gelisah, Sinta teringat kejadian siang tadi di rumahnya. Anak sulungnya pulang sekolah dengan wajah ditekuk berlipat-lipat. Hanya diam dengan tatapan menyeramkan, seperti orang yang menahan amarahnya.
"Ibuuuu! Lihat nih, aku dapet surat lagi dari sekolah. Kapan sih SPP aku dibayarin? Udah berapa bulan nunggak, emangnya Bapak nggak kasih uang ke Ibu?!" Rama berkata dengan nada tinggi kepada Sinta, ibunya.
Sinta terdiam beberapa saat di balik pintu setelah ia mempersilakan anaknya masuk. Tidak menyangka Rama akan berlaku sekasar itu padanya. Namun ia dapat memahami, tentu kesal dan malu menjadi Rama.
Sekolah dengan sepatu, tas, dan seragam yang bisa dibilang agak lusuh. Berbeda dengan teman-temannya yang bisa membeli baru setiap awal ajaran baru. Memang Rama hanya memakai semuanya lungsuran dari para tetangga. Bekas anak mereka sekolah. Masih untung begitu, daripada tak ada yang memberi sama sekali. Keuangan keluarga sangat pas-pasan, kalau tak boleh dibilang kekurangan.
Penghasilan Andi sebagai tukang ojek pangkalan tak selalu bagus. Zaman sekarang profesi tersebut sering dikalahkan oleh supir taksi online. Dulu yang biasanya Sinta bisa memasak ayam dan daging sepekan sekali secara bergantian, sekarang tidak. Sebulan sekali keluarganya dapat menyantap ayam, ia sudah bersyukur sekali.
Sejak dirinya dioperasi pengangkatan rahim enam bulan lalu, tubuhnya berubah drastis. Mudah lelah, sehingga harus rela meninggalkan pekerjaan sebagai buruh cuci di komplek sebelah kampungnya. Dengan keadaan begitu, otomatis pemasukan keuangan di keluarganya semakin sedikit.
Sepekan lalu Tante Mince datang menawarkan pinjaman uang. Sinta menolaknya, karena pinjaman dari Tante Mince terkenal dengan bunga yang berlipat. Tak rela jika nanti sertifikat rumahnya harus tergadai atau bahkan hilang.
Kesempatan kedua yang datang, lebih menggiurkan. Bude Lasmi, kakak dari ibunya yang bekerja di bank swasta, menawarkan pinjaman tanpa agunan, bahkan dengan bunga 0%.
Bude Lasmi mendengar kesulitan yang dialami keponakannya, Sinta. Beliau hanya bermaksud ingin membantu. Namun ditolak oleh Sinta. Alasannya, takut kena dosa riba.
Habislah Santi diceramahi budenya kala itu. Sok tegar lah, sok suci lah, dan entah apa saja yang keluar dari mulut wanita berdarah Medan itu. Tajam sekali, menusuk batin Sinta. Namun ia hanya diam tidak membantah, posisinya hanya sebagai keponakan, tak etis bila membantah. Meski Sinta tau, riba itu dosa.
Dua kesempatan berlalu, hutang ke warung menumpuk dan SPP Rama kian banyak yang belum terbayar. Namun Sinta tetap sabar dan mendoakan suaminya, agar Allah berikan kemudahan dalam mencari rezeki. Ia yakin Allah Maha Kaya, Maha Pemberi Rezeki.
Sinta hanya bisa sholat dan berdoa untuk menyembuhkan rasa gelisah di hatinya. Mau marah dan mengutuk, kepada siapa? Toh nasib setiap orang sudah ditentukan oleh Allah. Tugas manusia hanya menjalankan dengan penuh ikhlas.
Setengah jam berlalu, Sinta tertidur di kursi sambil tangannya memegang tasbih. Berdzikir, yang biasa dilakukannya setiap ia duduk menunggu kepulangan suaminya.
Tak lama, ada suara pintu diketuk.
"Assalamualaikum, Mi... Bukain pintu dong." suara Andi di depan sana. Alhamdulillah, suaminya pulang. Sinta segera bangkit dan mencuci wajah, agar segar terlihat.
Malam itu suaminya pulang dengan wajah berbeda. Lebih segar dan sumringah. Padahal sudah dini hari. Ada apa gerangan? Sinta bertanya dalam hati.
"Wa 'alaikumussalaam," Sinta membuka pintu dan menyambut suaminya pulang.
"Abi kelihatannya lagi _happy_? Senyam-senyum semenjak masuk rumah," tanya Sinta.
"Hehe, Alhamdulillaaah Mi. Eh tapi ngomong-ngomong ini air sumur habis? Kok enggak ada gelas di meja untuk Abi," kelakar suaminya.
Sinta bergegas ke dapur membuat teh manis hangat. Lengkap dengan singkong rebus yang tadi ia masak selepas isya.
Sambil menyeruput teh dan menikmati singkong rebus buatan istrinya, Andi memulai cerita tentang kebahagiaannya hari itu.
Ternyata, siang tadi suaminya dapat pesanan mengantar salah seorang bos pabrik garmen ke kawasan Kuningan, Jakarta. Bos tersebut sengaja meninggalkan mobil yang dikendarai supirnya karena khawatir telat sampai tujuan dan ketinggalan rapat penting. Ada tender besar, katanya. Rejeki Sinta sekeluarga berawal dari sana. Alhamdulillah, orang tersebut dapat menghadiri rapat meski nyaris beberapa menit sebelum rapat dimulai.
Di perjalanan kembali ke pangkalan, suaminya tak mendapat penumpang. Sepertinya orang-orang lebih suka menggunakan ojek online yang lebih praktis dan murah.
Hingga sore hari menjelang berbuka, bos besar yang diantar suaminya tadi mendatangi pangkalan ojek. Andi diminta ke rumahnya yang berada di Pondok Indah. Setelah berbuka di pangkalan bersama teman-temannya, Andi melakukan sholat Maghrib di musholla dekat sana. Lalu bergegas ke alamat yang tertulis pada secarik kertas yang diberikan langsung oleh si bos besar tersebut tadi sore di pangkalan.
Tanpa mengira ada apa, hanya berbaik sangka saja kepada Allah bahwa ada hal baik yang akan terjadi.
Dan benarlah yang ada di pikirannya. Hal baik berupa rejeki yang banyak telah menantinya.
Singkat cerita, bahwa bos besar tersebut memenangkan tender tadi siang. Sebagai rasa terima kasih, beliau memberi sebuah cek bertuliskan angka yang sangat besar.
Membayangkan angka sepuluh juta saja tidak pernah, apalagi menerimanya. Sinta bertanya bagaimana cara menggunakan lembaran cek tersebut, namun dijawab tawa oleh Andi.
"Jujur aja ya Mi, Abi juga nggak tau hehehe. Gampang lah itu, besok pagi setelah mengantar Rama sekolah, Abi langsung ke bank yang ditunjuk bapak tadi. Pasti petugas di sana mau jelasin gimana caranya," kata suaminya.
Sinta mengangguk saja, tidak tau ingin menjawab apa. Dirinya masih bingung, takut ini hanya sebuah mimpi.
Tak lama, suaminya menepuk pundaknya, mengajaknya untuk sholat tahajud. Mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas datangnya rezeki yang datangnya tidak disangka-sangka ini.
Sambil mengikuti langkah suaminya, Sinta menggumam, "Alhamdulillah, insya Allah SPP mu akan segera lunas Nak ...."
Ia membuka kamar anak-anak. Ada Rama dan Adi yang tertidur pulas di sana. Dikecupnya ubun-ubun mereka sambil mendoakan yang baik-baik.
Sinta semakin yakin bahwa Allah itu sungguh menyayangi dirinya dan keluarga. Tak lama lagi ia akan memulai usaha berjualan makanan di depan rumahnya yang berada di pinggir jalan. Semoga ramai, dan berkah.
Beberapa kali Sinta menolak kesempatan datangnya rejeki karena mengandung riba di dalamnya, namun malam itu Allah segera membalas kesabarannya.
"Ternyata memang benar bahwa setelah kesulitan, pasti ada kemudahan," batinnya. Lalu bersama suami, Sinta larut dalam doa-doa ungkapan syukurnya kepada Allah.
#fiksi
#RamadhanBercerita
#Kopmi
Share This Article :
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup pada kolom komentar, kalau masih nekat mohon maaf komentarmu akan dihapus ya🙏