Nama : Ingrid Maisaroh
Tugas : Cerpen
Judul : Petrichor
Hujan belum lama turun, aroma petrichor masih sangat terasa di hidungku. Meski sudah ada coklat panas di depanku, namun aroma hujan masih sangat tajam.
Jujur, aku masih trauma dengan hujan. Meski belakangan sangat menantikan kedatangannya, namun hanya sebatas untuk tanaman-tanaman di kebun. Kasihan, mereka sangat merindukan turunnya air hujan dari langit. Memang, aku pernah sangat menyukai hujan. Namun untuk sekarang dan seterusnya, hujan tidak untuk diriku. Karena kenangan buruk itu masih sangat nyata dalam benak, menghapus semua kengangan indah bersamanya.
"Woiii!!! Cepetan, mana ini makanan, kok belum ada di meja?" Huhhh .... Meski sudah 5 tahun menikah denganku, mamun tak ada perubahan. Masih tetap galak seperti itu. Namun apa dayaku, masih butuh dirinya. Tak mungkin aku membalas segala sikap kasarnya selama ini.
Dengan tertatih, aku menuju dapur. Memanaskan sayur yang sudah kubuat dari pagi, lalu menggoreng tempe yang sudah kuadon sebelumnya. Sementara keempat anakku, mereka masih asyik kruntelan di kamar sejak awal hujan turun.
"Sebentar Pak, kusiapin dulu, ya. Soalnya ini sayurnya udah adem." Aku jawab seadanya, sambil menahan perih di perut akibat luka jahitan pasca melahirkan pekan lalu.
Seorang istri yang habis melahirkan, biasanya boleh bersantai sejenak dari rutinitas rumah tangga. Namun sama sekali tidak buatku. Terima saja, mungkin memang sudah jalan hidupku dari Allah.
"Imaaaah, lelet banget lo! Udah kaya siput aja. Perut gue udah ngga bisa tahan, nih!" Suamiku kembali berteriak dari bale depan, dia masih saja dengan intonasi yang menyakitkan seperti itu.
Duh, Gusti.
Entah dosa apa aku di masa lalu, sehingga diberikan jodoh seperti ini. Kalau boleh flashback, rasanya seperti membeli kucing dalam karung. Kukira akan selalu baik dan indah seperti di awal menikah, nyatanya tidak. Ketimbang berdiskusi, aku memilih duduk sendiri sambil memandangi si Mpus yang lucu. Tingkah dan gerak-geriknya yang selalu lucu mampu membasuh luka yang kualami. Hatiku membaik ketika memandangi polahnya di teras. Mengejar bola, minum susu, atau sekadar menggigiti potongan ikan yang kuberikan di atas piringnya. Menentramkan hati.
Tujuh tahun pernikahan rasanya bukan membaik tapi justru semakin memburuk. Tapi apa dayaku, masih dalam ikatan dan tidak berani berpisah. Kasihan ayah ibuku di kampung jika mengetahui anaknya berpisah.
"Aku berangkat dulu!" Suaranya masih ketus. Sambil menutup pintu dengan keras, ia beranjak keluar rumah sambil membawa tas bekerjanya yang berisikan palu, ampelas, dan sebagainya sebagai alat bantu bertukang.
Tak lama kemudian, hujan turun. Bukannya menikmati indahnya karunia Tuhan tersebut, justru aku terburu-buru menutup pintu dan masuk ke dalam kamar.
***
Peluh memenuhi daster batikku kala itu. Sudah seharian penuh menjajakan kue tapi belum habis semuanya. Mulai dari pasar, lalu ke sekolahan dan mutar-mutar ke kampung tetangga. Sampai sore belum habis juga, tapi aku memutuskan pulang. Toh masih bisa dimakan sendiri, pikirku. Entah kenapa hari itu dada terasa sesak tiba-tiba, padahal aku bukan perokok dan jantungku baik-baik saja.
Sesampai di rumah, aku disambut pemandangan yang tak biasa. Sepasang sendal wanita berwarna merah muda ada di kolong dipan di depan rumah yang biasa dipakai suamiku bersantai. Jelas bukan sendalku, apalagi anak perempuan. Entah sampai kapan aku diberi kepercayaan oleh Tuhan berupa anak. Aku sudah lelah berharap. Tapiiii, hei! Sendal siapa itu??
Dadaku semakin terasa sempit saat memasuki rumah. Ada suara aneh seperti dialog 2 orang, laki-laki dan perempuan. Terdengar akrab, bahkan sepertinya terlalu akrab. Kuberusaha menepis pikiran buruk, tapi kenapa suara lelakinya seperti sangat akrab di telingaku??? Ah, atau mungkin bawaan perasaan kangen aja kali.
Semenjak suami terkena PHK dari pabrik tempatnya bekerja, aku harus ikut membantu keuangan keluarga. Meski belum punya anak, tapi kebutuhan hidup di ibukota sangatlah mahal, tak cukup bila mengandalkan pendapatannya yang kini bekerja serabutan. Kadang menjadi tukang bangunan, sering juga menjadi kuli panggul di pasar induk. Tidak ada gaji tetap seperti dulu ia masih menjadi karyawan pabrik. Pesangon pun sudah habis untuk membeli beras dan bayar sewa kontrakan beberapa bulan saja, karena memang tidak seberapa.
Kalaupun aku sekarang harus membantu suami menjadi tukang kue, sebenarnya tak mengapa. Tidak peduli cuaca panas dan hujan, demi tambahan pemasukan, aku rela jabani. Tapi apakah pantas, bila seorang istri sudah susah payah membantu suami, tetapi balasannya seperti itu??? Ahh, aku tak boleh berprasangka. Mungkin saja ada sanak saudara yang datang berkunjung dan sedang asyik mengobrol di dalam rumah dengan suamiku. Ya, aku tetap berusaha berbaik sangka agar hati sedikit lebih tenang.
Kulepas sandal jepitku yang kotor, lalu menaruh bakul jualan di depan pintu rumah. Berharap ingin segera mandi dengan air hangat agar bisa melemaskan otot dan merasa lebih segar. Maklum, asap kendaraan di ibukota sangat membuat sesak nafas dan baju pun menjadi bau. Keringat juga tak terhitung berapa kali ia membasahi badanku. Setelah itu mungkin bisa menikmati air jahe hangat sambil menikmati rintik hujan.
Tapi apa, kenyataan ternyata tak seindah anganku.
"Tenang Leha, nanti Abang belikan baju baru ya Sayang. Besok Abang terima bayaran dari mandor." Lagi-lagi, sepertinya suara lelaki itu sangat kukenal.
"Aaah, abang nih sukanya janji-janji terus. Besok, besok, besoook melulu." Tapi, entah itu suara siapa? Duh, Gustiiiiii. Kau berikan cobaan apa lagi buatku?
Tak sabar, aku dorong paksa pintu depan rumah dan pahit sekali pemandangan di sana. Ada seorang perempuan berambut panjang di atas pangkuan suamiku. Sedang dibelai kepalanya dan kelihatannya mereka sudah sangat akrab sekali.
Aaaaaarrggghhhhh!!! Sungguh, aku tak tahu harus bagaimana. Di saat peluh membasahi tubuh karena lelah berjualan, eh suami malah main gila di rumah sendiri. Di saat gas, beras dan minyak habis dan butuh dibeli, suami malah mengobral janji pada wanita lain. Gila. Sungguh gila.
Tak kupedulikan teriakannya memanggil namaku, berulang kali. Aku hanya ingin menjauh, pergi dan tak ingin menyaksikannya. Sejak saat itu, aku benci sekali pada hujan. Hujan yang dulu ketika aku kecil sangat kusukai, tapi sekarang tidak. Ia meninggalkan jejak luka yang begitu dalam untukku.
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup pada kolom komentar, kalau masih nekat mohon maaf komentarmu akan dihapus ya🙏