#Challengerumlit_ep.10
Setelah menutup ponsel Pak Kirman, Pak Bendot kebingungan lalu menggumam, "Lha sing aku kirimin We-A mau ki sopo, yo?" 🤔
Jelas ia bingung, karena hampir semua panggilan keluar di telepon Pak Kirman tertuju ke nomor kontak bernama "Zheyenk". Namun niat baiknya untuk menghubungi istri Pak Kirman ternyata salah alamat.
Tak dihiraukannya riuh obrolan para warga yang turut pergi bersamanya. Pak Bendot hanya sibuk dengan pikirannya sendiri, karena Pak Kirman merupakan tetangga terdekatnya yang sering duduk bersama bermain catur saat waktu santai. Duduk-duduk, ngopi bareng sambil ngobrol, bahkan sering diceritakan sedukit tentang kenangan pilu di masa lalunya. Begitu akrabnya.
Meski begitu, Pak Bendot tak mengenal sosok dari masa lalu yang sering diceritakan oleh Pak Kirman. Yang begitu ingin ia jumpai kembali, untuk menyampaikan sebuah rahasia penting dan menebus semua kesalahannya.
Pak Bendot juga sering mendengar gosip ibu-ibu RT bahwa istinya Pak Kirman, yaitu Bu Fitri, memang kebanyakan menghabiskan waktunya di luar rumah. Macam-macam arisan, kongkow ibu-ibu sosialita, segala macam reuni dan entah apalagi istilahnya bagi orang kaya menghabiskan waktunya di luar. Pak Bendot yang lugu tak terlalu memahaminya. Ia sendiri bersyukur memiliki istri yang selalu siap melayani dan menemaninya di rumah.
Para warga yang berjumlah tiga mobil sampai di area parkir rumah sakit, langsung menuju IGD tempat di mana Pak Kirman sedang ditangani oleh tim dokter.
"Ayo Pak, mbok jalanmu sing cepet," suara istri Pak Bendot tidak terlalu dihiraukannya, ia mengikuti saja ke mana lengannya ditarik oleh sang istri. Berjalan bersama para warga lainnya yang masih ramai terlibat obrolan tentang peristiwa pingsannya Pak Kirman.
***
Nun jauh di sana, di sebuah taman kota yang teduh.
Belia sibuk membereskan buku-bukunya lalu menutup laptop kesayangan miliknya. Pemberian sesosok lelaki paruh baya yang pernah mampir dalam hidupnya. Tidak lama, namun memberi kenangan yang begitu mendalam.
Masa kecil dihabiskan oleh Belia di sebuah yayasan, bersama puluhan anak lainnya di sana, tanpa orang tua. Ia bersekolah di SD hingga SMA Negeri yang gratis, uang saku dan keperluan lainnya didapatkan dari sumbangan para donatur. Hingga akhirnya menjelang lulus, seseorang tersebut tiba-tiba datang ke yayasan menemuinya. Memberi beasiswa seluruh biaya kuliahnya.
Pihak yayasan hanya bilang, orang tersebut merupakan salah satu keluarganya. Tidak lebih dari itu. Belia dipersilahkan untuk pergi ke luar, berjalan-jalan sekedar menghabiskan waktu bersama. Sebuah _smartphone_ pun diberikan si pria yang telah berumur tersebut padanya untuk mendukung studinya, dan seringkali digunakan untuk saling berkomunikasi. Bertanya kabar, tentang sekolah dan lainnya. Begitu akrab, layaknya orangtua dan anak.
Belia merasakan bahagia, bisa pergi ke toko buku dan berbelanja banyak buku yang diidamkannya selama ini. Bagaikan mimpi, dan ia begitu bersyukur dengan keadaannya kini.
Sosok pria yang di kepalanya tumbuh banyak uban tersebut sering menghubunginya, sekadar menyalurkan keluh kesah seputar pekerjaannya. Dari nada suara sepertinya ada beban yang sedang dipikulnya, namun tak pernah menyinggung soal keluarganya. Belia tak ingin lancang bertanya, hanya menjawab sekedarnya saja bila ditanya atau diminta berpendapat.
Ada rasa yang begitu membuncah dalam hatinya, entah apa. Seperti gurun pasir yang lama gersang lalu disirami hujan. Sejuk sekali.
Namun ketika Belia berharap lebih kepada sosok ini, begitu ia merasa nyaman, tiba-tiba sesosok wanita cantik nan tinggi semampai memergoki Belia dan lelaki misterius itu di sebuah kedai kopi. Obrolan yang tadinya menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi prahara yang memalukan di muka umum.
"Heh, ngapain kamu di sini bersam suami saya! Berani-beraninya kamu datang, mau merebut semuanya dari saya, ya!!!" wanita tersebut marah-marah sambil melotot dan berkacak pinggang. Belia yang tak mengerti apa-apa, Pak Kirman pun seperti sangat terkejut akan kedatangannya.
"Dasar kamu anak kampung nggak tau diuntung!" lanjut wanita itu sambil menyiram segelas kopi dari meja mereka.
Sejak itu Belia menjauh, tak pernag menjawab pesan dan telepo. Betul-betul tak ingin lagi dijumpai. Menghapus semua angan tentang bahagia, dan mencoba menerima takdir bahwa ia memang hanya sebatang kara di dunia ini, tanpa cinta orangtua dan keluarga. Hanya pengurus yayasan yang menjadi orang tua dan teman-teman di sanalah keluarganya.
Meski ada sebuah kalimat pria itu yang masih membuatnya penasaran, "Sebetulnya saya ingin cerita sesuatu sama kamu Belia, tapi nunggu waktu yang tepat ya Nduk." namun Belia sadar harus segera melupakannya.
Mungkin Tuhan menakdirkan begitu. Hadir ke dunia ini hanya sendirian.
Lamunannya terpecah saat sebuah pesan masuk ke ponselnya: "Bu, Pak Kirman tadi pingsan. Sekarang masuk IGD, RS Harapan Baru ya Bu." begitu bunyinya.
Belia mengerutkan alis, bertanya dalam hati. "Ibu, Pak Kirman? Siapa mereka?". Tapi kenapa datangnya dari nomor itu, nomor yang biasa digunakan oleh sosok pria beruban yang sedang ingin ia lupakan.
Semua pertanyaan tersebut dikalahkan oleh nurani yang mengatakan, "aku harus berangkat. Siapapun dia, ku harus mengetahui kabarnya."
Belia merasakan ada sebuah ikatan batin yang sulit diungkapkan, namun rasanya begitu mendalam.
Berangkatlah Belia dengan sebuah sepeda motor matik, lagi-lagi pemberian pria tersebut.
Di tengah jalan, ia mampir ke kafe Sturback, membeli segelas kopi hangat . Barangkali bisa membantu pria tersebut siuman, Belia membatin. Kemudian ia melanjutkan perjalanan arah Bekasi.
***
Di depan IGD, Bu Fitri sibuk membalas pesan di ponselnya. Beberapa teman se-geng kala SMA dulu, mengajak ketemuan di Grand Indonesia. Ia tak begitu memikirkan keadaan suaminya, toh ada tim dokter yang sedang menangani. Akhirnya ia memilih untuk pergi menemui teman-temnannya di Jakarta Pusat.
"Ehm, Pak RT, maaf saya ada keperluan mendadak. Titip dulu suami saya ya, kalau ada perkembangan toling beritahu saya. Makasih," Bu Fitri pun berpamitan kepada semua tetangga yang ada di sana.
Bu Fitri berpapasan dengan Belia di koridor RS, gadis lugu yang pernah dia semprot di sebuah kedai kopi. Saking terburu-buru, ia tak menyadarinya.
Sementara Belia, sempat sekilas melihat wanita yang dulu mendampratnya di kedai kopi, jelas ia masih menghafal wajah tersebut. Namun hanya sekilas dan tidak terlalu dihiraukannya.
Selang beberapa menit, dokter keluar dari ruang IGD dan bertanya, "Kami sudah berusaha namun maaf, dia belum sadarkan diri. Siapa di sini yang merupakan anggota keluarga Pak Kirman?". Semua warga di situ saling berpandangan. Istrinya sudah pergi barusan, dan setahu mereka pun Pak Kirman serta Bu Fitri belum dikaruniai anak, meski sudah lama sekali menikah.
Bersamaan dengan itu, Belia datang dengan tergesa. Ia mendengar ucapan sang dokter lalu berkata memecah kesunyian, "Eeh, maaf. Coba Dok, tolong berikan ini ke dekat hidungnya. Barangkali aromanya bisa memulihkan kesadarannya." Lalu ia menyerahkan sebuah bungkusan berisi segelas kopi yang dibelinya tadi.
Lagi-lagi, para warga yang sedang berkumpul di sana saling beradu pandang. Bertanya-tanya siapa sosok gadis misterius yang datang tiba-tiba ini?
Sang dokter menerima pemberian Belia lalu masuk kembali ke ruangan IGD. Penutup gelas dibuka, lalu kopi tersebut didekatkan ke hidung Pak Kirman.
Dari pintu yang sedikit terbuka, Belia serta seluruh mata yang berada di sana bisa melihat, jemari Pak Kirman terlihat bergerak-gerak.
Sungguh, sebuah keajaiban sedang terjadi di sana.
***
Share This Article :
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup pada kolom komentar, kalau masih nekat mohon maaf komentarmu akan dihapus ya🙏