Bismillahirrahmaanirrahiim.
Hai Sobat Mamak, semoga dalam keadaan baik, ya. Kalau saya alhamdullah sehat, dan tadi masih sempat bikin brownis bareng anak-anak. Sebetulnya saya nggak jago bebikinan kue sih, malah kalau boleh jujur lebih senang beli daripada bikin sendiri. Karena praktis, cepat, ngga repot dan pastinya nggak ngotorin dapur hahaha.
Tapi nggak ada salahnya juga kok, kalau sesekali bikin sendiri di rumah. Memang terasa repot dan kotornya, tapi setidaknya bagi saya ada 3 keuntungan yang bisa didapat dari kegiatan tersebut:
1. Hemat budget.
Poin pertama ini penting ya, karena di masa pandemi yang masih belum menentu ini para ibu dituntut agar lebih menghemat pengeluaran. Nah, untuk brownis yang tadi saya buat, kalau beli ukuran 20x20 cm biasanya 150 ribu. Nah, tadi bahan-bahannya nggak sampai 50 ribuan, tuh. Lumayan hemat, kaaan? 🤑
2. Meningkatkan bonding antara orang tua dengan anak.
Dari mulai melelehkan cokelat batang, mengaduk gula dan telur, sampai mengayak tepung dan terakhir meratakan adonan di loyang, Arsya dan Aisyah ikut turun membantu. Saya menikmati momen kebersamaan dan hubungan kakak-adik yang manis seperti ini. So sweet 😍
3. Memberi contoh ke anak perempuan tentang aktivitas feminin seorang perempuan.
Poin ketiga ini juga sangat penting dan memang sedang menjadi prioritas saya ke Aisyah. Karena selama ini saya melihat, pendidikan sekolah hanya mengajarkan sisi akademis saja tanpa ada bahan pengajaran tentang bagaimana tugas dan peran anak nantinya agar siap menjadi istri/ibu, ayah/suami.
Jujur, saya merasa prihatin dengan sebagian potret keluarga di Indonesia. Sering saya mendengar istilah Fatherless Country alias negeri tanpa ayah. Maknanya kurang lebih ya seperti keadaan keluarga yang minim sentuhan para ayah, karena mereka sibuk sekali dengan tugas mencari nafkah di luar. Sehingga, sebagian dari para ayah di sini melupakan tugas utama lainnya yaitu mendidik dan menjadi pemimpin dalam keluarganya.
Wah, tumben ya saya nulisnya agak serius kali ini 🙈 Bukan karena kesambet atau mabok brownis #eh 🤣
Tapi memang murni karena saya ingin mengemukakan pendapat alias mengeluarkan uneg-uneg atas sebuah postingan yang tadi dilemparkan salah seorang kawan di grup komunitas menulis.
Sobat Mamak bisa ikut cek ke TKP ya, ini dia postingannya
https://www.instagram.com/p/CG_reXKjrgh/?igshid=oa59yac4xlf1
Gimana pendapat kalian setelah membaca dengan seksama tulisan di postingan tersebut? 🧐
Kalau saya pribadi nih, ya ... Asli menurut saya postingan itu serem banget. Banyak hal-hal yang bertentangan dengan nilai yang saya anut.
Pertama:
Pada slide 1, sebetulnya di awal saya nggak ngeh tentang penulisnya di bawah dikatakan seorang yang sedang membicarakan feminisme. Mungkin kalau sejak awal saya baca, pasti akan begini "ooooh, panteeeesss". Karena memang saya membaca dari slide 1 hingga akhir (tanpa membaca embel-embel tulisan kecil di bawah tadi), saya sudah menyimpulkan kalau ybs mengarah ke feminisme.
Oke, jadi pada slide 1 dia mengatakan tidak menolak bahwa jilbab perintah Allah, namun tak suka ibunya melakukan kontrol pada tubuh dan dirinya.
Astaghfirullah al adziim. Jujur saya beristighfar loh, beneran deh. Bagaimana mungkin seorang ibu dikatakan monster (namun saya akhirnya memahami maksud ini di slide yang lain) apalagi dikatakan melakukan kontrol itu sebagai hal yang konotatif.
Padahal ya, helllooowww ... Guweh ini juga seorang ibu ya, catet. Saya nggak mengontrol Aisyah untuk berjilbab sejak dini, tapi memang saya meyakini bahwa setiap perempuan adalah wajib berjilbab. Maka apa yang saya didik kepada Aisyah (bahkan sejak usia di bawah setahun) bukan sebagai kontrol atau pemaksaan, tapi lebih ke pembiasaan dan bagian dari kewajiban seorang ibu kepada anak perempuannya.
Karena saya takut anak saya nanti diharamkan masuk surga oleh Allah karena tidak menutup auratnya. Maka sejak ia kecil sudah saya berikan contoh dan pembiasaan.
a. Saya sendiri memberi contoh berjilbab syar'i di depan dia dan di depan semua orang yang bukan mahram saya, termasuk ketika berada di rumah mertua bahkan di rumah sendiri jika kedatangan tamu.
b. Membiasakan sejak Aisyah bayi dengan memakaikan jilbab bayi yang lucu dan berbahan adem. Membelikan gamis set yang bagus dan berbahan nyaman untuk aktivitas dia di usia balita yang sangatlah aktif.
Kedua upaya tersebut saya lakukan atas dasar saya CINTA dengan Aisyah, BUKAN KONTROL atas tubuh dan kehidupannya.
Kedua:
Memasuki slide ke-2 makin membuat saya bergidik, karena banyak sekali pembahasan yang ngawur. Salah satunya saja nih ya, bagaimana mungkin gender bisa berubah setiap waktu? 😖 Padahal jelas sekali bahwa gender dan jenis kelamin yang sesungguhnya hanyalah LAKI-LAKI dan PEREMPUAN. Selebihnya itu adalah yang tidak normal dan dilaknat oleh Allah, sebagaimana kisah Kaum Nabi Luth yang LGBT lalu dimusnahkan Allah.
Ketiga:
Ibunya bersikap menakut-nakuti anak yang tidak berjilbab. Jelas ini metode yang salah, namun saya amat sangat dapat memaklumi sang ibu karena jaman dulu belum ada namanya kelas parenting, jadi mendidik anak masih berdasarkan intuisi dan mewarisi pola didikan dari orang tuanya terdahulu (kakek-neneknya si anak). Hasilnya, ada anak yang bisa langsung menurut, dan tentu ada anak yang bersikap memberontak seperti si anak itu. Semua ada sebab dan akibat, karena daya tangkap dan pemahaman setiap anak pun berbeda.
Alhamdulillahirobbil'aalamiin, saya sebagai mamak jaman now diberi kemudahan oleh Allah betapa mudahnya akses untuk belajar parenting hingga ditakdirkan untuk mengenal FBE (Fitrah Based Education) yang dikenalkan oleh Ustadz Harry Santosa.
Jadi dalam FBE ada yang disebut dengan Fitrah Keimanan. Bahwa semakin dini usia anak, sebetulnya anak lebih dekat dengan fitrahnya (Islam), tugas orang tua adalah membangkitkan fitrah tersebut (yang sejatinya sudah ada dalam diri setiap anak, sudah diinstal oleh Allah sejak ia lahir ke dunia) sedini mungkin. Nah, untuk teknisnya mungkin sang ibu tersebut belum tepat.
Cara yang benar mengenalkan Fitrah Keimanan menurut ajaran FBE adalah dengan menceritakan hal-hal yang indah terkait Allah, Rasulullah serta Islam kepada anak agar tumbuhlah rasa cinta dalam diri mereka. Kenapa, karena jika diri sudah cinta kepada Allah, maka akan dengan senang hati melakukan apapun yang disukai oleh Rabbnya tanpa terkecuali.
Misalnya perintah menutup aurat tadi, jika sedari kecil sudah cinta kepada Allah dan Islam, maka anak akan sukarela melakukan semua perintah Rabb dan agamanya, bukan menolak apalagi memberontak dan sampai mengatakan ibunya adalah monster 😳
Sebaliknya jika terlambat membangkitkan fitrah keimanan tadi, maka akan lebih sulit mendidik ketika anak sudah dewasa. Kenapa, karena hatinya sudah banyak yang tertutup dan butuh usaha ekstra untuk mengembalikannya kepada fitrah yang sesungguhnya. Wallahu a'lam.
Keempat:
Masih mengacu pada slide ke-2 tadi, bahwa ibunya penganut patriarkis dan menganggap suaminya adalah kepala keluarga yang harus bersikap maskulin dan mengarahkan istri serta anak-anaknya.
Ohh jelass itu SANGAT BENAR, Esmeralda!!! Sudah jelas Allah mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dan suami bertanggung jawab atas dirinya dan keluarganya agar terhindar dari api neraka.
Jadi memang bukan anggapan ibunya semata, melainkan memang kodratnya laki-laki yang seharusnya menjadi pemimpin dalam keluarga. Dan para istri, setinggi apapun jabatan atau karirnya di luar sana, tetap harus tunduk dan taat kepada suami. Kecuali bila ada perintah suami yang berseberangan dengan ajaran agama, ya.
Kelima:
Adapun status perempuan/istri harus taat pada suami sebagai pemimpin itu bukanlah sebuah kerendahan atau kehinaan, kok. Saya sendiri sudah kenyang merasakan efek dari sikap saya yang kadang tidak taat pada suami. Jujur sebagai anak pertama ibu saya, memiliki sifat dominan yang besar dan kadang masih terbawa sampai sekarang.
Salah satu pengalaman paling mengena yang dialami adalah tentang asisten rumah tangga. Suami sudah sejak beberapa bulan lalu menyuruh saya mempekerjakan ART penuh waktu seperti sebelum pandemi, agar saya tak kecapaian. Tapi saya berpandangan lain dan selalu merasa mampu seolah tak butuh bantuan asisten. Akhirnya ketika saya betul-betul kewalahan dan merasa butuh jasanya, sang ART pun sudah menemukan majikan baru. Huhuu ini yang paling nampol banget, efek tidak taat sama suami: akhirnya kerepotan sendiri deh🤣
Ehya kembali ke postingan yang sedang dibahas tadi, ya.
Poin keenam dan yang terakhir:
Saya semakin menyadari betapa beratnya tanggung-jawab yang dipikul oleh setiap orang tua atas anak-anak dan keluarganya. Termasuk saya selaku ibu dari tiga anak spesial.
Jadi menurut saya, mengajarkan agama kepada anak adalah hal paling vital bahkan harus dimulai sebelum mereka mempelajari ilmu lainnya. Agar sejak dini bisa mencintai dan memahami ajaran agamanya serta mampu memahami yang hak dan yang bathil sejak awal. Karena dengan begitu mereka tak mudah goyah dan tak bisa dipengaruhi oleh paham-paham yang tidak benar.
Apalagi jika harus menjadi ibu yang akhirnya mengalah pada pilihan hidup anaknya seperti di postingan tadi yang akhirnya bekerja di Eropa (untuk mengurusi hak-hal LGBT), duh naudzubillah deh ya. Bagi saya sesuatu yang benar dan salah itu sudah jelas aturannya dalam Islam dan tidak ada kompromi.
Pada akhirnya, izinkan saya memberi kesimpulan bahwa soal jilbab itu sudah jelas ada peritahnya dalam Alquran. Nah tugas kita sebagai umat Nabi Muhammad adalah menaati dan mengambil contoh langsung dari para istri Rasul, bukan tokoh agama lainnya di jaman no. Karena mereka bukanlah contoh teladan yang Allah tunjuk langsung untuk diikuti.
Oke sekian dulu ya, mata mamak udah kiyep-kiyep.
Silakan tinggalkan komentar di bawah, ya. Asalkan tidak menyerang saya dan tidak untul berddbat, yaaa ....
Salam hangat, Mamaknya 3A
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup pada kolom komentar, kalau masih nekat mohon maaf komentarmu akan dihapus ya🙏