Mentari pagi ini kehilangan senyumnya. Redup. Bahkan beburung pun sepertinya lupa berkicau. Terdengar sunyi sekali, berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya yang selalu cerah dan meriah.
Sebetulnya aku tak kuasa beranjak dari kasur, namun apa kata mereka nanti jika aku masih terus berada di dalam kamar. Dicap sebagai kakak pemalas, atau kakak sang benalu, yang sampai dewasa pun selalu menyusahkan? Entahlah. Terserah adik-adikku mau berkata apa, yang penting aku merasa lebih enakan setelah beberapa malam tidur di rumah ini. Tempat yang sederhana, jauh dari kesan mewah. Namun tersimpan berjuta memori indah bersama emak dan bapak selama aku masih dalam pengasuhan mereka.
“Emak sih ndak kaget kalau suamimu menomor duakanmu, Nduk.” Ibu memulai percakapan pagi ini sambil menarik kursi di ruang makan. Kami berdua sedang mempersiapkan sarapan.
“Ehm...maksud Emak apa? Apa Emak sudah tahu sejak dulu kalau Mas Har tabiatnya memang begitu?” aku sedikit kesal.
Kalau memang Emak tahu, kenapa dulu aku dikenalkan dengannya, yang notabene adalah anak dari sahabat kecilnya dulu. Yeah, kurang lebih seperti perjodohan begitulah. Aku mau dinikahinya karena selain mapan, Mas Har juga tampan dan perlakuannya begitu manis kepadaku. Hangat dan setia. Ah sudahlah, itu kan dulu. Sekarang sudah sangat berbeda.
Emak menyuruhku menyusulnya ke dapur, mengambil tempe goreng yang sudah matang. Kulihat guest wajahnya yang semakin jelas, menandakan usianya yang telah senja. Namun aku merasa, ia tetaplah seperti Emak yang dulu. Yang penuh perhatian, meski anak sulungnya ini yang sudah berusia kepala tiga. Masih peduli dan mau mendengarkan curhatku, bahkan menerimaku tinggal di sini beberapa hari untuk menenangkan diri.
Sambil membetulkan kain di pinggangnya, Emak bilang begini: “Kepribadian seseorang itu gampang banget ditebak dari gimana dia berinteraksi dengan Gusti Allah”. Aku masih belum paham.
Sambil berpikir, aku duduk di pojokan dapur menemani Emak menggoreng tahu. Tak dibiarkannya aku menyentuh masakan. Bukan karena tak percaya aku bisa masak, namun beliau sungguh hanya ingin aku bersantai dan beristirahat di sini. Sungguh, cinta seorang ibu kepada anaknya memang luar biasa, ya.
Waduh, para cacing penghuni perutku pada kompak melakukan protes ketika aku mencium aroma gurih sedap sambal bawang buatan Emak. Tinggal disiram minyak panas bekas menggoreng tadi, jadilah menu tahu tempe penyet kesukaanku.
Beberapa waktu berlalu, ruang makan masih hening. Hanya ada aku dan Emak di sini, menanti kedua adikku selesai dengan persiapan kuliah mereka. Kata Emak, hari ini mereka berangkat agak siang.
“Mak, aku makan duluan ya? Laper banget nih semalem aku ketiduran ndak sempat makan.” Emak hanya tersenyum dan mengangguk. Tentulah ia tahu aku sedang berbohong. Semalam kan kami ngobrol berdua di kamar sambil makan mi dok-dok porsi dobel, hahaha. Tapi memang kalau habis menangis semalaman itu rasanya seperti habis nguli. Serius capek banget. Dan lapar sangat, tentunya hehehe.
“Kamu sering bilang, suamimu itu rajin cari duit sampai pulang larut malam bahkan menjelang Subuh. Semua kebutuhanmu bisa tercukupi bahkan berlebih. Kamu dan anak-anakmu hidup tenang dengan itu semua.” Emak menyerocos tanpa diminta. Aku sibuk menyendok nasi dan teman-temannya ke dalam mulut. Lumayanlah, gerakan cacing dalam perut sudah terkendali.
“Alasan sibuk cari duit, sampai rumah lewat tengah malam baru gelar sajadah buat sholat Isya. Gitu toh ceritamu, Nduk?”, sambil sibuk mengunyah, aku mengangguk. Masih menebak-nebak arah pembicaraan beliau.
Kulihat Emak mulai menyendok nasi dan lauk ke piring. Lalu melanjutkan bicaranya “Kalau orang sudah begitu, berarti dia berani menduakan Allah, Tuhannya sendiri. Padahal yang kasih rejeki itu Gusti Allah, kenapa kewajibannya ditunda-tunda hingga jauh lewat waktu begitu?”. Emak mulai menunjukkan arah pembicaraannya, sambil menyeruput teh manis hangat di depannya.
“Nduk, coba mbok kamu mikir. Gusti Allah saja dia berani nomor duakan setelah pekerjaannya itu. Ya apalagi kamu? Jadi kalau kamu cerita merasa diduakan, ya ndak aneh toh? Memangnya siapa kamu? Sama Tuhan saja dia Ndak takut, kok”, lanjut Emak masih dengan nada datar.
Tiba-tiba aku tersedak. Betapa bodohnya aku selama ini tak pernah berpikir ke sana. Selama ini aku sudah merasa nyaman dengan segala kecukupan materi yang Mas Har berikan. Tidak mengira yang macam-macam sudah terjadi dengannya akhir-akhir ini
Aku melihat wajah teduh Emak di seberang meja. Dari gelagatnya, sepertinya beliau masih akan menambahkan wejangannya padaku. Aku pun menantikannya.
“Kalau kamu mau menjadi istimewa baginya, Nduk. Mau jadi satu-satunya yang diperhatikan dan dicintai. Kamu harus bisa buat suamimu lebih dekat dulu kepada Gusti Allah. Ajari Hardi lebih mencintai Tuhan dan mengutamakan kewajiban ibadahnya ketimbang kerjaannya. Namanya kerjaan itu ndak akan ada habisnya. Memang begitulah dunia.” ceramah Emak sudah mirip seperti Mamah Dedeh di televisi saja. Tapi aku setuju dengan beliau.
Aku menuang teh ke dalam gelas Emak, beliau kelihatan kepedasan. Tapi tetap saja melanjutkan wejangannya untukku “Kalau orang sudah cinta sama Gusti Allah, dia juga akan merasa selalu diawasi. Semua gerak geriknya pasti lebih terjaga karena takut sama Tuhannya, Nduk. Mau ada teman kerja yang seksi sekalipun, dia Ndak akan tergoda. Percayalah sama Emak.”
Aku terdiam. Ada benarnya juga. Akhir-akhir ini memang Mas Har ibadahnya sedang kendur. Subuh jamaah di masjid kala libur pun ditinggalnya demi bantal. Kalau bangun sudah siang, itu pun langsung ponsel yang dicarinya. Aku selalu berpikir positif saja selama ini. Kukira aman-aman saja. Tapi ternyata, dia sibuk janjian dengan teman kencannya yang ternyata anak magang di perusahaannya. Anak abege yang imut-imut. Centil dan seksi.
“Buuuk …, uhuk … uhuk ….” Bapak memanggil Emak dari dalam kamarnya, memecah lamunanku barusan. Suaranya sangat serak terdengar, karena sejak selepas Subuh beliau sudah sibuk melantunkan hafalannya sambil salawatan di atas kasur. Kulihat Emak bangkit dari kursinya dan segera beranjak menghampiri Bapak, sosok suami yang sederhana rupa, harta serta sikapnya. Namun beliau selalu kaya cinta, yang tulus dibagikan untuk istri dan ketiga anak-anaknya. Termasuk untukku, anak sulungnya yang selalu menyusahkan ini hehehe.
Kulihat Emak dengan sigap dan telaten memberi minum dan menyuapi sarapan untuk Bapak. Romantis sekali, meski keduanya telah sepuh.
Kini aku sudah tahu jawabannya. Apa yang harus kurubah dari suamiku, agar ia dapat kembali menomorsatukan aku di hati dan hidupnya.
Setiap istri pasti ingin menjadi ratu satu-satunya dalam hati dan hidup suaminya. Meski jalannya tak mudah, namun semua pasti bisa diusahakan. Syarat pertamanya yang pasti ialah, aku harus mampu berubah dahulu menjadi wanita yang lebih baik, sebelum meminta Mas Har berubah lebih baik.
Ah, rasanya cukup sampai pagi ini saja aku di sini. Rindu sekali dengan kedua putriku yang cantik, yang sudah kutinggal 3 malam bersama Mbok Darmi di rumah.
-----------------------------selesai---------------------------
#fiksi
#newbie
#tantangandiri
Share This Article :
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup pada kolom komentar, kalau masih nekat mohon maaf komentarmu akan dihapus ya🙏